Gadis Pemalu
Aku gadis
pemalu yang menatapmu tapi tak sanggup menyapa, aku gadis pemalu yang selalu
menontonmu berlalga tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena aku terlalu malu bahkan
untuk sekedar tersenyum padamu.
“permisi,
boleh ikut duduk disini?” tanyamu padaku di sore itu.
Aku
terkejut melihatmu tiba-tiba berada tepat didepanku, aku hanya mengangguk dan
kembali ke buku yang sedari tadi menjadi temanku. Berharap kamu tak melihat
perubahan warna di mukaku yang memerah karena malu.
“anak baru
ya?” katamu yang sudah duduk manis disamapingku.
“eh...
aku?” kataku gugup
“iya...
kamu anak baru, kok rasanya baru kali ini aku ketemu”
Aku
tersenyum malu, sebegitu tak dikenalnya aku. Bahkan selama satu tahun kemarin
masih ada orang yang tak pernah menganggapku ada. Mungkin aku tak pernah
berpengaruh dalam kehidupannya.
“ini tahun
kedua aku sekolah disini” kataku sambil menatap langit.
Aku tahu
kamu sedikit tak enak hati dengan pernyataanmu tadi.
“aku
permisi ya, mau ngembaliin buku ke perpus” pamitku sambil memperlihatkan buku yang
sudah aku baca habis saat tadi duduk di bangku itu.
“maaf ya
soalnya aku ga pernah lihat kamu, kamu ga tersinggung kan?”
“enggak
kok, udah biasa bukan kamu aja. Mungkin sudah saatnya aku berbaur dengan yang
lain” kataku sebelum akhirnya aku meninggalkan bangku panjang itu.
“hei
bentar.... ini tempat minumnya ketinggalan” katamu sambil berjalan kearahku.
Aku melirik
kedalam tas, dan benar tempat minum warna kuning itu milikku.
“maksih ya
rang” kataku sambil menerima tempat minum yang tadi tertinggal
“kok kamu
tahu namaku?” tanyamu terkejut.
“eh...
emm... semua orang ditempat ini tahu nama kamu karang, pemain sepak bola”
jawabku, meskipun sebenarnya jauh lebih dalam dari itu karena aku selalu
megamatimu.
“oh... nama
kamu siapa?” tanyamu tiba-tiba setelah selesai aku berikan jawabanku
“Aira,
panggil saja Ai... udah dulu ya” pamitku
Aku
meninggalkanmu duduk di bangku panjang itu sendiri, dan melangkah keduniaku
dunia buku. Dunia yang banyak orang menganggapnya membosankan, tapi tidak untuk
ku.
“aira kamu
sendiri lagi, jangan terlalu sering disini, kadang kamu perlu bergabung dengan
yang lain” tegur togar yang adalah abang sepupuku yang kebetulan menjadi
penjaga perpustakaan kampus.
“tidak bang,
ai malas diluar ga menyenagkan. Lebih enak baca buku diperpus tenang, damai
pula”
“iya tenang
tapi hati kamu tuh ga tenang baca buku tapi ngeliatinya kelapangan mulu”
“eh...........”
“kaget?
Abang tau kok ai suka ngeliatin itu cowok pake kostum bola nomor punggung 10”
Aku diam
dan tertunduk malu, aksiku ternyata diketahui oleh abang sepupu yang bekerja di
perpustakaan ini.
“udah ngaku
aja, ga usah malu sama abang. Kamu dari dulu ga pernah berubah masih aja jadi
pemalu” kata bang togar yang kemudian melangkah kembali kebilik meja kerjanya
meninggalkan aku yang bersemu merah karena malu.
Aku masih
gadis pemalu meskipun mataku terus menatapmu dibalik kaca yang tak lebih tebal
dari satu centi itu. Aku masih tetap gadis pemalu yang bersemu merah jika
disapa oleh mu. Aku masih gadis pemalu yang entah sampai kapan malu itu berhenti
mengangguku.
Akhir akhir
ini aku mudah sekali terkena flu, setiap pagi aku menghabiskan beberapa tisu
untuk menutupi bersin yang tak berhenti. Flu sudah seperti penyakit rutin yang
menyerang tubuh, mungkin karena beberapa hari ini aku tak dapat terpejam dan
tidur terlarut malam. Saat sampai dikampus hidungku yang gatal meintaku untuk
menumpahkan kekesalan dengan bersin berkali kali, ini benar-benar memalukan.
Beberapa mata menatapku kesal karena meganggu ketenagan beberapa lagi melihatku
prihatin. Aku putuskan keluar perpustakaan dan kembali menggeluti buku yang sedang aku
baca di taman kampus, anginya sepoi dan tidak banyak orang. Tapi angin ini yang
makin memperparah bersinku.
“hei... aira
kan?” sapa seorang yang suaranya tak asing
“iya..” deg
aku menatap pria bernomor punggung 10, karang.
“sendirian
aja, lagi baca buku apa? Kayaknya asik”
“eh ini,
ensiklopedia flu”
“haha
kenapa baca buku gituan?”
“enggak
Cuma mau tau aja tentang flu”
“punya
masalah sama flu”
“iya
sedikit”
Aku gadis
pemalu yang hanya mampu menampaikan beberapa kata padamu, aku terlalu malu
untuk banyak bertutur padamu tentang flu yang selalu menyerangku setiap waktu.
“kamu
pendiem banget ya” bisiknya selah berkata pada dirinya sendiri
“eh...”
“maaf ya
kalo tersinggung”
Aku hanya
mengangguk menjawab tanyamu, aku ingin kamu segera menyingkir pergi. Tentunya
bukan karena aku tak suka, hanya saja wajahku terasa sangat panas karena sangat
malu. Belum lagi detak jantungku yang bunyinya makin tak beraturan membuatku
semakin tak menentu. Aku sangat malu, tapi hidungku tak mau tahu. Ia malah
kembali bersin berkali-kali.
“maaf ya
berisik” pintaku
“iya ga
apa-apa kok ai, udah ke dokter?”
“belum,
nanti juga sembuh sendiri kalo udah banyak makan sama istirahat cukup”
“itu muka
kamu merah banget lho, kamu demam?”
Aku hanya
terdiam saat tiba-tiba kamu menyentuh keningku, aku yakin muka ku bersemu merah
dan itu memalukan. Harusnya kamu tak perlu lakukan itu karena itu membuatku
bertamah malu.
“itukan
bener demam” katamu tanpa merasa bersalah sudah menyentuh keningku dan menambah
merah mukaku.
Aku hanya
diam, dan aku tak ingat apapun sampai aku sadar aku sudah terbaring di ruangan
kamar ini. Sebuah ruangan yang didominasi warna putih dan bau karbol yang
menyengat. Sebuah ruangan yang aku benci dan aku hindari dan hari ini aku
mendapati tubuhku kembali terbaring dengan selang yang menjulur kesana kemari.
Komentar
Posting Komentar