aku memanggilnya sepatu buluk, andai dia bisa bicara mungkin dia akan marah karena begitu tak menghargainya aku padanya. sepatu butut, warnanya yang hijau kecoklatan kini berubah menjadi coklat keputih-putihan. warnanya pudar beriring dengan usianya yang makin bertambah, belum lagi hujan dan panas matahari yang menambah buruk saja rupanya. sepatu butut, sepatu yang aku beli dari kampung halaman sejak tingkat pertama. aku membelinya bersama bapak saat berjalan-jalan ke kota. bukan sepatu mahal dengan harga ratusan ribu, sepatu ini hanya berharga enam puluh ribu kala itu. sekian kali aku membeli sepatu baru, pada akhirnya pada sepatu butut ini pula kakiku berlabuh lagi. semakin butut, semakin banyak kenangan dan harapan yang dilukiskan dari kebututanya. entah berapa kilo meter perjalanan yang pernah saya lewati bersama si sepatu butut, mungkin tak terhitung panjangnya. sepatu butut adalah saksi perjuangan selama ini, dari mendaki Sindoro hingga menapaki puncak Papandayan. meskipun